Posted on 29-Maret-2009 by Nizar AL-Kadiri
dari buku: “ISLAM KIRI – Jalan Menuju Revolusi Sosial”
Buku ini adalah seri kedua dari tiga seri yang direncanakan oleh sang penulis; Eko Prasetyo, diterbitkan oleh insist press pada tahun 2003.
Dimulai dengan penegasan penulis tentang keimanan yang kiri yang menjadi pilihannya dan kenapa memilihnya, dan penegasan tentang Revolusi sebagai doktrin perjuangan. Praktis, sepanjang buku ini kita akan “digiring” untuk berfikir berdasar realitas sosial yang dipenuhi ketidakadilan hasil rekayasa untuk menuju Revolusi sebagai sebuah alat perjuangan yang nyaris niscaya.
Bab pertama memberi kita wawasan tentang contoh revolusi sosial dalam dinamika gerakan Islam. Penulis mencontohkan Revolusi Iran dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Keduanya berasal dari akar yang sama; keyakinan bahwa Islam adalah pembela kaum mustadh’afin -kaum tertindas-, dan keyakinan akan kebenaran Islam meniscayakan perlawanan kepada Tirani yang menindas. Walaupun keduanya berasal dari pemahaman fikih Islam yang berbeda, tapi mereka kemudian memilih jalan revolusi sebagai perjuangan untuk mencapai tujuan.
Bab kedua menceritakan perkembangan kapitalisme yang sekarang diidentifikasi sebagai penyebab dari kekacauan tatanan peradaban yang sehat, sebagai pihak penindas. Teori-teori yang melandasi beserta tahapan-tahapan evolusi dari kapitalisme dikupas dengan cukup lugas. Penulis menceritakan betapa para pemilik kapital mempersiapkan dan menggerakkan alat-alat mereka untuk menghegemoni berbagai negara di dunia. IMF dan WTO serta berbagai organisasi “donor” adalah alat negosiasi yang ampuh karena mereka berpengalaman dalam negoisasi dan dasar-dasar teori “perbaikan ekonomi” yang sebenarnya hampa. Dan Multinational Corporations (MNCs) menjadi pihak-pihak yang menjadi eksekutor saat para negara penerima bantuan kemudian menyerahkan dirinya secara baik-baik untuk dijajah.
Kemudian penulis menyodorkan sejarah dan pergulatan konsep Revolusi, dengan contoh berbagai revolusi di dunia dan Indonesia sendiri. Dengan menganalisis berbagai peristiwa Revolusi dunia, penulis menyimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah revolusi. Yang pertama adalah kemampuan untuk mengintegrasikan semua kekuatan dalam melawan arus kontrarevolusi, dan yang tak kalah penting adalah dukungan dan keterlibatan negara lain, terutama dalam membantu perekonomian pasca revolusi. Ini bermakna bahwa keberhsailan suatu revolusi sangat ditentukan dari bagaimana kelompok kaum revolusioner mampu menghsilkan struktur kekuasaan yang lebih kuat, lebih terpusat, lebih birokratik dan lebih memiliki kekuasaan yang otonom di dalam maupun di luar negeri. Faktor kedua yang tak kalah penting adalah bagaimana kepemimpinan revolusioner mampu membangun organisasi-organisasi negara baru yang lebih kuat serta dukungan penuh baik secara ekonomi maupun militer dari luar negeri. Faktor ketiga adalah perubahan perubahan konfigurasi pada tatanan internasional. Kemudian penulis menarik hal ini pada sejarah perjalanan revolusi di Indonesia. Dari sana terlihat bahwasanya “KIRI” sangat memberi pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan dan dalam membentuk kesadaran para tokoh nasional waktu itu akan perlunya perlawanan atas ketertindasan. Para pemuka kemerdekaan dari Tan Malaka hingga Hatta memiliki tambang pengetahuan dari konsep dan dasar ontologi marxis. Sejarah kemudian membuktikan bahwa Revolusi yang terjadi di Indonesia adalah perjalanan revolusi yang berjalan sendiri-sendiri; kaum kiri yang akan menegakkan masyarakat komunis dan kaum kanan yang hendak membangun tatanan yang sesuai dengan firman Tuhan. Sejarah Islam Kiri yang dulu pernah ditumbuhkembangkan oleh Haji Misbach dan beberapa saudaranya yang lain mungkin jadi salah satu jawaban andal.
Pada bab selanjutnya, penulis kemudian mengajukan tesis bagaimana memulai Revolusi Islam Kiri. Tahapan pertama adalah dengan mendorong kesadaran keagamaan: dari kesadaran magis menuju kesdaran revolusioner. Kesadaran Magis menganggap bahwa realitas sosial merupakan sesuatu yang telah ‘dibentuk’ oleh wahyu dan doktrin kitab suci. Orang-orang dengan kesadaran ini biasanya menganggap bahwa semua perubahan sosial merupakan hasil campur tangan Tuhan sepenuhnya., dan perubahan sosial dapat terjadi jika kehidupan dikembalikan pada masa lalu. Tingkatan kedua adalah Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini, manusia menganggap realitas sosial merupakan sesuatu yang dibentuk oleh Tuhan dan kebiasaan individu. Dari anggapan ini, mereka kemudian menyimpulkan bahwa perubahan sosial mengandalkan tampilnya individu yang perilakunya sesuai dengan bunyi literer teks kitab suci, dan perubahan sosial yang diharapkan lebih berorientasi pada perbaikan kualitas individu. Tingkatan ketiga adalah Kesadaran Revolusioner. Kesadaran Revolusioner mengharuskan kita untuk melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh aktor sosial juga struktur global seperti negara, modal dan senjata. Kemudian perubahan sosial yang akan dilakukan mengandalkan kemampuan untuk melihat struktur secara kritis dan mendorong wahyu dalam konteks ‘inspirasi’ dan ‘spirit’ pembebasan. dengan begitu, perubahan sosial yang dimulai dari kesadaran ini akan berorientasi pada terbentuknya gerakan sosial yang populis. Dalam mendorong perbahan kesadarn ini, ada beberapa tahapan yang kemudian diajukan, dan berujung pada perjuangan revolusioner untuk merebut kuasa politis maupun kultural yang dijalankan melalui sejumlah tindakan praksis. Untuk mendorong gerakan Islam disini menuju basis massa revolusioner, yang dilakukan pertama-tama adalah menetapkan akidah perjuangan dan penguatan organ. Motor untuk menggerakkan keduanya adalah ULAMA yang mengambil peran cendikiawan organik. Maka, Islam Indonesia perlu Pemimpin yang kuat, yang dapat menjalankan peran sebagai Ulama bagi rakyat tertindas, dan bukan hanya memimpin doa bersama bagi penguasa yang sudah nyata-nyata dzalim. Organisasi-organisasi Islam dalam hal ini harus dapat menafsir ulang segala bentuk doktrin atau teks dalam pembacaan yang militan, dan secara dialektis mampu memahami kaitan antara gejala ekonomi, nilai, dan prinsip gerakan sosial.
Akhirnya, Mas Eko Prasetyo mengajak kaum Muslimin di Indonesia untuk memulai revolusi, menyambut dengan busungan dada salah satu firmanNya: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisiMu (An Nisa; 75)”.
dari buku: “ISLAM KIRI – Jalan Menuju Revolusi Sosial”
Buku ini adalah seri kedua dari tiga seri yang direncanakan oleh sang penulis; Eko Prasetyo, diterbitkan oleh insist press pada tahun 2003.
Dimulai dengan penegasan penulis tentang keimanan yang kiri yang menjadi pilihannya dan kenapa memilihnya, dan penegasan tentang Revolusi sebagai doktrin perjuangan. Praktis, sepanjang buku ini kita akan “digiring” untuk berfikir berdasar realitas sosial yang dipenuhi ketidakadilan hasil rekayasa untuk menuju Revolusi sebagai sebuah alat perjuangan yang nyaris niscaya.
Bab pertama memberi kita wawasan tentang contoh revolusi sosial dalam dinamika gerakan Islam. Penulis mencontohkan Revolusi Iran dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Keduanya berasal dari akar yang sama; keyakinan bahwa Islam adalah pembela kaum mustadh’afin -kaum tertindas-, dan keyakinan akan kebenaran Islam meniscayakan perlawanan kepada Tirani yang menindas. Walaupun keduanya berasal dari pemahaman fikih Islam yang berbeda, tapi mereka kemudian memilih jalan revolusi sebagai perjuangan untuk mencapai tujuan.
Bab kedua menceritakan perkembangan kapitalisme yang sekarang diidentifikasi sebagai penyebab dari kekacauan tatanan peradaban yang sehat, sebagai pihak penindas. Teori-teori yang melandasi beserta tahapan-tahapan evolusi dari kapitalisme dikupas dengan cukup lugas. Penulis menceritakan betapa para pemilik kapital mempersiapkan dan menggerakkan alat-alat mereka untuk menghegemoni berbagai negara di dunia. IMF dan WTO serta berbagai organisasi “donor” adalah alat negosiasi yang ampuh karena mereka berpengalaman dalam negoisasi dan dasar-dasar teori “perbaikan ekonomi” yang sebenarnya hampa. Dan Multinational Corporations (MNCs) menjadi pihak-pihak yang menjadi eksekutor saat para negara penerima bantuan kemudian menyerahkan dirinya secara baik-baik untuk dijajah.
Kemudian penulis menyodorkan sejarah dan pergulatan konsep Revolusi, dengan contoh berbagai revolusi di dunia dan Indonesia sendiri. Dengan menganalisis berbagai peristiwa Revolusi dunia, penulis menyimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah revolusi. Yang pertama adalah kemampuan untuk mengintegrasikan semua kekuatan dalam melawan arus kontrarevolusi, dan yang tak kalah penting adalah dukungan dan keterlibatan negara lain, terutama dalam membantu perekonomian pasca revolusi. Ini bermakna bahwa keberhsailan suatu revolusi sangat ditentukan dari bagaimana kelompok kaum revolusioner mampu menghsilkan struktur kekuasaan yang lebih kuat, lebih terpusat, lebih birokratik dan lebih memiliki kekuasaan yang otonom di dalam maupun di luar negeri. Faktor kedua yang tak kalah penting adalah bagaimana kepemimpinan revolusioner mampu membangun organisasi-organisasi negara baru yang lebih kuat serta dukungan penuh baik secara ekonomi maupun militer dari luar negeri. Faktor ketiga adalah perubahan perubahan konfigurasi pada tatanan internasional. Kemudian penulis menarik hal ini pada sejarah perjalanan revolusi di Indonesia. Dari sana terlihat bahwasanya “KIRI” sangat memberi pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan dan dalam membentuk kesadaran para tokoh nasional waktu itu akan perlunya perlawanan atas ketertindasan. Para pemuka kemerdekaan dari Tan Malaka hingga Hatta memiliki tambang pengetahuan dari konsep dan dasar ontologi marxis. Sejarah kemudian membuktikan bahwa Revolusi yang terjadi di Indonesia adalah perjalanan revolusi yang berjalan sendiri-sendiri; kaum kiri yang akan menegakkan masyarakat komunis dan kaum kanan yang hendak membangun tatanan yang sesuai dengan firman Tuhan. Sejarah Islam Kiri yang dulu pernah ditumbuhkembangkan oleh Haji Misbach dan beberapa saudaranya yang lain mungkin jadi salah satu jawaban andal.
Pada bab selanjutnya, penulis kemudian mengajukan tesis bagaimana memulai Revolusi Islam Kiri. Tahapan pertama adalah dengan mendorong kesadaran keagamaan: dari kesadaran magis menuju kesdaran revolusioner. Kesadaran Magis menganggap bahwa realitas sosial merupakan sesuatu yang telah ‘dibentuk’ oleh wahyu dan doktrin kitab suci. Orang-orang dengan kesadaran ini biasanya menganggap bahwa semua perubahan sosial merupakan hasil campur tangan Tuhan sepenuhnya., dan perubahan sosial dapat terjadi jika kehidupan dikembalikan pada masa lalu. Tingkatan kedua adalah Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini, manusia menganggap realitas sosial merupakan sesuatu yang dibentuk oleh Tuhan dan kebiasaan individu. Dari anggapan ini, mereka kemudian menyimpulkan bahwa perubahan sosial mengandalkan tampilnya individu yang perilakunya sesuai dengan bunyi literer teks kitab suci, dan perubahan sosial yang diharapkan lebih berorientasi pada perbaikan kualitas individu. Tingkatan ketiga adalah Kesadaran Revolusioner. Kesadaran Revolusioner mengharuskan kita untuk melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh aktor sosial juga struktur global seperti negara, modal dan senjata. Kemudian perubahan sosial yang akan dilakukan mengandalkan kemampuan untuk melihat struktur secara kritis dan mendorong wahyu dalam konteks ‘inspirasi’ dan ‘spirit’ pembebasan. dengan begitu, perubahan sosial yang dimulai dari kesadaran ini akan berorientasi pada terbentuknya gerakan sosial yang populis. Dalam mendorong perbahan kesadarn ini, ada beberapa tahapan yang kemudian diajukan, dan berujung pada perjuangan revolusioner untuk merebut kuasa politis maupun kultural yang dijalankan melalui sejumlah tindakan praksis. Untuk mendorong gerakan Islam disini menuju basis massa revolusioner, yang dilakukan pertama-tama adalah menetapkan akidah perjuangan dan penguatan organ. Motor untuk menggerakkan keduanya adalah ULAMA yang mengambil peran cendikiawan organik. Maka, Islam Indonesia perlu Pemimpin yang kuat, yang dapat menjalankan peran sebagai Ulama bagi rakyat tertindas, dan bukan hanya memimpin doa bersama bagi penguasa yang sudah nyata-nyata dzalim. Organisasi-organisasi Islam dalam hal ini harus dapat menafsir ulang segala bentuk doktrin atau teks dalam pembacaan yang militan, dan secara dialektis mampu memahami kaitan antara gejala ekonomi, nilai, dan prinsip gerakan sosial.
Akhirnya, Mas Eko Prasetyo mengajak kaum Muslimin di Indonesia untuk memulai revolusi, menyambut dengan busungan dada salah satu firmanNya: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisiMu (An Nisa; 75)”.