Kamis, 17 April 2014

ISLAM KIRI 2

Posted on 29-Maret-2009 by Nizar AL-Kadiri

dari buku: “ISLAM KIRI – Jalan Menuju Revolusi Sosial”
Buku ini adalah seri kedua dari tiga seri yang direncanakan oleh sang penulis; Eko Prasetyo, diterbitkan oleh insist press pada tahun 2003.

Dimulai dengan penegasan penulis tentang keimanan yang kiri yang menjadi pilihannya dan kenapa memilihnya, dan penegasan tentang Revolusi sebagai doktrin perjuangan. Praktis, sepanjang buku ini kita akan “digiring” untuk berfikir berdasar realitas sosial yang dipenuhi ketidakadilan hasil rekayasa untuk menuju Revolusi sebagai sebuah alat perjuangan yang nyaris niscaya.

Bab pertama memberi kita wawasan tentang contoh revolusi sosial dalam dinamika gerakan Islam. Penulis mencontohkan Revolusi Iran dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Keduanya berasal dari akar yang sama; keyakinan bahwa Islam adalah pembela kaum mustadh’afin -kaum tertindas-, dan keyakinan akan kebenaran Islam meniscayakan perlawanan kepada Tirani yang menindas. Walaupun keduanya berasal dari pemahaman fikih Islam yang berbeda, tapi mereka kemudian memilih jalan revolusi sebagai perjuangan untuk mencapai tujuan.

Bab kedua menceritakan perkembangan kapitalisme yang sekarang diidentifikasi sebagai penyebab dari kekacauan tatanan peradaban yang sehat, sebagai pihak penindas. Teori-teori yang melandasi beserta tahapan-tahapan evolusi dari kapitalisme dikupas dengan cukup lugas. Penulis menceritakan betapa para pemilik kapital mempersiapkan dan menggerakkan alat-alat mereka untuk menghegemoni berbagai negara di dunia. IMF dan WTO serta berbagai organisasi “donor” adalah alat negosiasi yang ampuh karena mereka berpengalaman dalam negoisasi dan dasar-dasar teori “perbaikan ekonomi” yang sebenarnya hampa. Dan Multinational Corporations (MNCs) menjadi pihak-pihak yang menjadi eksekutor saat para negara penerima bantuan kemudian menyerahkan dirinya secara baik-baik untuk dijajah.

Kemudian penulis menyodorkan sejarah dan pergulatan konsep Revolusi, dengan contoh berbagai revolusi di dunia dan Indonesia sendiri. Dengan menganalisis berbagai peristiwa Revolusi dunia, penulis menyimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah revolusi. Yang pertama adalah kemampuan untuk mengintegrasikan semua kekuatan dalam melawan arus kontrarevolusi, dan yang tak kalah penting adalah dukungan dan keterlibatan negara lain, terutama dalam membantu perekonomian pasca revolusi. Ini bermakna bahwa keberhsailan suatu revolusi sangat ditentukan dari bagaimana kelompok kaum revolusioner mampu menghsilkan struktur kekuasaan yang lebih kuat, lebih terpusat, lebih birokratik dan lebih memiliki kekuasaan yang otonom di dalam maupun di luar negeri. Faktor kedua yang tak kalah penting adalah bagaimana kepemimpinan revolusioner mampu membangun organisasi-organisasi negara baru yang lebih kuat serta dukungan penuh baik secara ekonomi maupun militer dari luar negeri. Faktor ketiga adalah perubahan perubahan konfigurasi pada tatanan internasional. Kemudian penulis menarik hal ini pada sejarah perjalanan revolusi di Indonesia. Dari sana terlihat bahwasanya “KIRI” sangat memberi pengaruh dalam perjuangan kemerdekaan dan dalam membentuk kesadaran para tokoh nasional waktu itu akan perlunya perlawanan atas ketertindasan. Para pemuka kemerdekaan dari Tan Malaka hingga Hatta memiliki tambang pengetahuan dari konsep dan dasar ontologi marxis. Sejarah kemudian membuktikan bahwa Revolusi yang terjadi di Indonesia adalah perjalanan revolusi yang berjalan sendiri-sendiri; kaum kiri yang akan menegakkan masyarakat komunis dan kaum kanan yang hendak membangun tatanan yang sesuai dengan firman Tuhan. Sejarah Islam Kiri yang dulu pernah ditumbuhkembangkan oleh Haji Misbach dan beberapa saudaranya yang lain mungkin jadi salah satu jawaban andal.

Pada bab selanjutnya, penulis kemudian mengajukan tesis bagaimana memulai Revolusi Islam Kiri. Tahapan pertama adalah dengan mendorong kesadaran keagamaan: dari kesadaran magis menuju kesdaran revolusioner. Kesadaran Magis menganggap bahwa realitas sosial merupakan sesuatu yang telah ‘dibentuk’ oleh wahyu dan doktrin kitab suci. Orang-orang dengan kesadaran ini biasanya menganggap bahwa semua perubahan sosial merupakan hasil campur tangan Tuhan sepenuhnya., dan perubahan sosial dapat terjadi jika kehidupan dikembalikan pada masa lalu. Tingkatan kedua adalah Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini, manusia menganggap realitas sosial merupakan sesuatu yang dibentuk oleh Tuhan dan kebiasaan individu. Dari anggapan ini, mereka kemudian menyimpulkan bahwa perubahan sosial mengandalkan tampilnya individu yang perilakunya sesuai dengan bunyi literer teks kitab suci, dan perubahan sosial yang diharapkan lebih berorientasi pada perbaikan kualitas individu. Tingkatan ketiga adalah Kesadaran Revolusioner. Kesadaran Revolusioner mengharuskan kita untuk melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh aktor sosial juga struktur global seperti negara, modal dan senjata. Kemudian perubahan sosial yang akan dilakukan mengandalkan kemampuan untuk melihat struktur secara kritis dan mendorong wahyu dalam konteks ‘inspirasi’ dan ‘spirit’ pembebasan. dengan begitu, perubahan sosial yang dimulai dari kesadaran ini akan berorientasi pada terbentuknya gerakan sosial yang populis. Dalam mendorong perbahan kesadarn ini, ada beberapa tahapan yang kemudian diajukan, dan berujung pada perjuangan revolusioner untuk merebut kuasa politis maupun kultural yang dijalankan melalui sejumlah tindakan praksis. Untuk mendorong gerakan Islam disini menuju basis massa revolusioner, yang dilakukan pertama-tama adalah menetapkan akidah perjuangan dan penguatan organ. Motor untuk menggerakkan keduanya adalah ULAMA yang mengambil peran cendikiawan organik. Maka, Islam Indonesia perlu Pemimpin yang kuat, yang dapat menjalankan peran sebagai Ulama bagi rakyat tertindas, dan bukan hanya memimpin doa bersama bagi penguasa yang sudah nyata-nyata dzalim. Organisasi-organisasi Islam dalam hal ini harus dapat menafsir ulang segala bentuk doktrin atau teks dalam pembacaan yang militan, dan secara dialektis mampu memahami kaitan antara gejala ekonomi, nilai, dan prinsip gerakan sosial.

Akhirnya, Mas Eko Prasetyo mengajak kaum Muslimin di Indonesia untuk memulai revolusi, menyambut dengan busungan dada salah satu firmanNya: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang dzalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisiMu (An Nisa; 75)”.

10 SEBAB SHALAT TIDAK DITERIMA ..

Terdapat Hadis Rasulullah saw juga mengatakan bahwa terdapat 10 golongan manusia yang shalatnya tidak diterima oleh Allah SWT yaitu :

1. Orang lelaki yang shalat sendirian tanpa membaca sesuatu.
2. Orang lelaki yang mengerjakan shalat tetapi tidak mengeluarkan zakat.
3. Orang lelaki yang minum arak tanpa meninggalkannya (taubat).
4. Orang lelaki yang menjadi imam padahal orang yang menjadi makmum membencinya.
5. Anak lelaki yang melarikan diri dari rumah tanpa izin kedua ibu bapanya.
6. Orang perempuan yang suaminya marah/menegur kepadanya lalu si isteri memberontak.
7. Imam atau pemimpin yang sombong dan zalim serta angkara.
8. Orang perempuan yang tidak menutup aurat.
9. Orang yang suka makan riba.
10. Orang yang shalatnya tidak dapat menahannya dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. (HR Bukhari dan Muslim).

Kitab (TabyinulMahaarim).
Sabda Rasulullah saw yang bermaksud: “Siapa yang memelihara shalat, maka shalat itu petunjuk dan jalan selamat dan barang siapa yang tidak memelihara shalat maka sesungguhnya shalat itu tidak menjadi cahaya dan juga tidak menjadi petunjuk dan jalan selamat baginya”.

Ya Allah semoga seluruh sholat kami selama ini dapat diterima olehmu Ya Allah... Tolong maafkan kami jika kami kurang sempurna Ya Allah... Aamiin.. MOHON DI KLIK BAGIKAN AGAR YANG LAINNYA IKUT MEMBACA .

Selasa, 05 April 2011

Definisi Agama Kepercayaan dan Realigi

A. Agama dan Realigi
1. Pengertian Agama dan Religi (Etimologi)
Agama dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan peraturan. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta ‘a’ berarti tidak dan ‘gamma’ berarti kacau, agama berarti tidak kacau.
Agama semakna dengan kata “religion” (bahasa Inggeris), “religie” (Belanda), “religio” (Latin), yang berarti mengamati, berkumpul/bersama, mengambil dan menghitung. Dengan padanan kata re + Leg + io, yang artinya:
Leg = to observe - mengamati
= to gather - berkumpul/bersama
= to take up - mengambil (njumput/jawa)
= to caout - menghitung
Agama semakna juga degan kata “ad-Dien” (Bahasa Arab) yang berarti cara, adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, perhitungan, hari kiamat, dan nasihat.

2. Pengertian Agama Menurut Definisi (Pengertian Termonologis)
Menurut Harun Nasution, agama adalah suatu sistem kepercayaan dan tingkah laku yang berasa dari suatu kekuatan yang ghaib.
Menurut Al-Syahrastani, agama adalah kekuatan dan kepatuhan yang terkadang biasa diartikan sebagai pembalasan dan perhitungan (amal perbuatan di akhirat). (M. Ali Yatim Abdullah,2004:5)
Menurut Prof. Dr. Bouquet mendefinisikan agama adalah hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci dan supernatur, dan yang bersifat berada dengan sendirinya dan yang mempunyai kekuasaan absolute yang disebut Tuhan. (Abu Ahmadi,1984:14).

Pengertian agama menurut berbagai agama:
Agama menurut agama Hindu ialah satya, arta, diksa, tapa, brahma dan yajna. Satya berarti kebenaran yang absolute. Arta adalah dharma atau perundang-undangan yang mengatur hidup manusia. Diksa adalah penyucian. Tapa adalah semua perbuatan suci. Brahma adalah doa atau mantra-mantra. Yajna adalah kurban.
Pengertian lain ialah dharma atau kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan Kehidupan manusia. Jadi agama menurut agama Hindu ialah kepercayaan hidup pada ajara-ajaran suci dan diwahyukan oleh Sang Hyang Vidi yang kekal abadi.
Agama menurut agama Budha ialah suatu kepercayaan atau persujudan atau kepercayaan manusia akan adanya daya pengendalian yang istimewa dan terutama dari suatu manusia yang harus ditaati dan pengaruh pemujaan tadi atas perilaku manusia.
Pengertian lain dari agama adalah suatu badan dari ajaran kesusilaan dan filsafat dan pengakuan berdasarkan keyakinan terhadap pelajaran yang diakui baik yang ajaran yang budha yang sangat mulia.
Dalam pengertian yang lain bahwa agama adalah cara tertentu untuk pemujaan kepada para dewa, dewa agung yaitu adanya kekuatan gaya tak terlihat yang menguasai alam semesta.
Agama menurut agama Kristen ialah segala bentuk hubungan manusia dengan yang suci. Terhadap yang suci ini manusia tergantung, takut karena sifatnya yang dahsyat dan manusia tertari karena sifat-sifatnya yang mempesonakan.
Agama menurut agama Islam ialah, kata Islam berasal dari kata: salam yang artinya selamat, aman sentosa, sejahtera: yaitu aturan hidup yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.


B. Kepercayaan
1. Pengertian (Etimologi)
Dalam tata bahasa Indonesia kepercayaan berasal dari kata dasar “percaya” mendapat imbuhan awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata percaya menurut kamus bahasa Indonesia berarti:
1. (Akan kepada) menganggap (mengakui, yakin) bahwa memang benar (ada dan sebagainya).
2. (Akan, kepada) menganggap dengan pasti bahwa (jujur, kuat, baik dsb): mengharapkan benar atau memastikan (bahwa akan dapat memenuhi harapannya, dsb).
Adapaun pengertian Kepercayaan menurut ilmu makna kata (sematik) mempunyai arti:
a. Iman kepada agama
b. Anggapan (keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya kepada dewa-dewa dan orang-orang halus.
c. Dianggap benar dan jujur, musalnya orang kepercayaan.
d. Setuju kepada kebijakansaan pemerintah atau pengurus.

2. Definisi Kepercayaan (Pengertian Termonologis)
Kata kepercayaan menurut istilah (terminology) di Indonesia pada waktu ini ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk kedalam agama. (Rasyidi : 1980).
A.L. Huxley di dalam bukunya The Perennial Philosophy. Seorang pengarang dan ahli filsafat di negeri Inggeris menyebutkan empat arti:
a. Percaya/mengandal (kepada orang tertentu).
b. Percaya (Inggeris: Faith) kepada wibawa (dari para ahli di suatu bidang ilmu pengetahuan).
c. Percaya (Inggeris: believe) kepada dalil-dalil yang kita ketahui bahwa kita dapat menceknya, apabila kita mempunyai kesediaan. Kesempatan dan kemampuan untuk itu (misalnya : mempercayai toeri atom).
d. Percaya (Inggeris: believe) kepada dalil-dalil yang kita ketahui bahwa kita dapat menceknya, sekalipun kita menghendakinya (missal, mempercayai pasal-pasal pengakuan iman Athanasius).
Huxley berpendapat, bahwa ketiga arti yang pertama mempunyai peranan yang penting dalam Kehidupan sehari-hari dan dalam ilmu pengetahuan, tetapi percaya dalam arti yang ke empat itu pandangannya sama dengan apa yang disebut kepercayaan agamani. (Permadi,1994:3).
Kamus umum Purwadarminto, 1976. Mengatakan bahwa kepercayaan mempunya pengertian:
a. Anggapan atau keyakinanbenar (ada, sengguh-sungguh).
b. Sesuatu yang dipercayai (dianggap dengan benar).
Menurut Endang Syaifuddin Anshari (1985) percayailah sifat dan sikap membenarkan sesuatu atau menganggap sesuatu sebagai benar. Sedangkan menurut Dananjaya (153) kepercayaan pada intinya bukan hanya mencakup kelakuan (behavior) tetapi juga pengalama (experiences) juga alat.
Jadi kepercayaan adala anggapan atau keyakinan terhadap sesuatu yang mempengaruhi sifat mental yang meyakininya.

C. Kesimpulan


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1984. Sejarah Agama. Solo : CV. Ramadhani.
Ali, Abdullah. 2007. Agama dan Ilmu Perbandingan. Bandung : Nuansa Aulia.
Abdullah, Yatimin. 2004. Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Amzah.
Manaf, Abdul, Mudjahid. 1994. Sejarah Agama-agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Manaf, Abdul, Mudjahid. 1993. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

makalah ini akan saya presentasikan pada selasa, 13 april 2011
mohon masukan dari semua...

Kamis, 15 Juli 2010

DEFINISI PURITANISME DAN MODERNISME

PENDAHULUAN


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat perubahan zaman yang semakin berubahnya tradisi yang ada dengan dalam kurun sejarah yang akan berjalan dengan tradisi sebelumnya. Sebagai suatu bukti tradisi yang tejadi pada abad modern yang jauh berbeda dengan generasi umat islam pertama. Perubahan tersebut dapat dilihat dari barang-barang kebutuhan hidup dalam rumah tangga yang dan alat pemenuhan kebutuan yang semakin modern, pola hidup yang disesuaikan dengan zaman modern serta alat-alat pemanuhan kebutuhan lainnya pun serba modern.
Dari perubahan-perubahan yang terjadi sesuai perkembangan zaman makan akan terjadi pula perubahan tradisi dan budaya yang mengalir dari suatu wilayah ke belahan bumi lainnya yang berbeda tradisi. Perubahan tradisi tersebut mempengaruhi pola pikir yang akan berimbas kepada pemahaman terhadap ajaran agama. Dengan pemahaman yang berbeda tentu akan berpengaruh pula terhadap pelaksanaan syari’at agama terutama syari’at luhur yang terkadung dalam Islam.
Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut membuat kekhawatira di kalangan fundamentalis muslim terhadap bahaya pengaruh asing yang bukan berasal dari ajaran islam. Seperti budaya Sinkritisme yang terjadi pada masyarakat pribumi Indonesia pada saat datangnya Islam yang notabene berasal dari agama Hindu. Oleh karenannya mendorong sebagian kelompok melakukan pergerakan dalam rangka memurnikan syari’at islam yang sesunggunya agar terlepas dari sifat Takhayyul, Bid’ah, dan Khurafat yang rentan mempengaruhi akidah umat Islam.
Tidak hanya persoalan akidah, yang menjadi pesoalan utama adalah masalah kemunduran umat Islam yang semakin tertinggal daripada Barat. Maka lakukanlah usaha-usaha oleh pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran yang akan dibawa kepada kemajuan seperti yang terjadi pada masa kejayaan umat islam.

PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM


1. Pengertian dan Difinisi
Kata modern menurut Harun Nasution, dalam khazanah pemikiran Barat mangandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan olah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Perubahan dilakukan adalah untuk menyesuaikan keadaan masyarakat dengan perkembangan zaman oleh suatu bangsa dalam rangka mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Perubahan ini mensyaratkan agar memberikan solusi nyata dengan mendatangkan paradigma baru dalam suatu masyarakat untuk mewujudkan suatu kebangkitan bagi umat. Dikalangan masyarakat pemikir muslim moderni lebih dikenal dengan istilah Tajdid.
Dalam pengertian garis besar makna kata puritanisme secara etimologis berasal dari bahasa Yunani pure yang berarti murni.
Sedangkan Puritanisme menurut istilah memiliki dua dimensi artian yaitu di lapangan pemikiran dan kepercayaan. Puritanisme di lapangan pemikiran. Misalnya dilapangan ilmu pengetahuan berupa tidak mau menggunakan kata atau ejaan yang mirip dengan perkataan atau ejaan bangsa asing. Dalam lapangan kepercayaan, merupakaan sikap untuk hanya berpegang kepada ajaran yang termuat dalam suatu kitab suci sesuai dengan arti kata. Pengertian yang tidak cocok dengan arti kata dianggap berbahaya atau salah. Disamping sikap mengenai makna ajaran agama pada beberapa golongan yang mengikuti cara siap hidup paling sederhana sesuai dengan keperluan kehidupan minimal tanpa mengganggu kesehatan (asketisme). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa puritanisme dapat ditarik suatu benang merah yaitu pemurnian. Dalam islam lebih hidmat jika memakai istilah sufi. Pemurnian ditujukan untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran yang murni berasal dari pembawanya Nabi Muhammad saw yaitu al-Quran dan hadis agar bersih dari perilaku takhayyul, bid’ah dan khurafat yang dapat merusak ajaran dan aqidah umat islam.
Dari pengertian diatas disimpulkan bahwa dalam bahasan pemurnian ini adalah kembali kepada ajaran islam yang murni yakni kembali kepada ajaran yang telah dibawa oleh Muhammad saw dan para sahabatnya yang berpedoman kepada sumber hukum islam yaitu al-Quran dan Hadis yang shahih untuk menyesuaikan antara perubahan zaman yang semakin aktual dengan ajaran islam yang murni untuk dapat dijalankan secara sinergis.

2. Antara Puritanisme/Pemurnian dan Modernisasi/Tajdid dalam Islam.
Dari pengertian antara puritanisme dan modernisme diatas dapat dilihat bahwa kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Jika puritanisme mengandung arti memurnikan pemikiran atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran tertentu yang dapat menodai kemurnian ataupun ajaran tersebut. Sedangkan modernisme mengandung pengertian gerakan membuat suatu perubahan paradigma berpikir dalam masyaraklat suatu bangsa ke arah perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang sarat dengan perubahan di bidang ilmu, teknologi, seni, politik, budaya, dan sebagainya. Perubahan tersebut secara lansgung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan beragama dan berimbas kepada pemahaman terhadap akidah. Maka dengan adanya pergerakan modernisasi pemikiran islam diharapkan dapat mewujudkan kesesuaian antara kemajuan zaman dan agama.
Jika dilihat ke belakang, dimulai setelah selama dua setengah abad sepeninggal Nabi Muhammad saw dapat dikatakan secara luas ditandai dengan ketegangan antara Islam ortodoks dengan Sufisme. Ortodoksi Sunni mengalami kristalisasi setelah bergulat dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam islam), aliran Syi’ah dan kelompok-kelompok Khawarij.
Pergulatan itu sesugguhnya masih terus berlangsung sampai abad ke-13 H dan kekuatan besar yang dihadapi Sunni adalah sufisme yang pada tahap lanjutan mengalami degenerasi. Disamping itu merajalelanya bid’ah di kalangan umat telah membuat sebagian umat buta terhadap ajaran-ajaran orisinil, yakni ajaran-ajaran yang tertera dalam al-Quran dan sunnah yang shahih.
Bagi banyak pengamat, sejarah silam di masa modern pada intinya adalah sejarah dampak Barat terhadap masyarakat Islam, yang khusunya sejak abad ke-13 H/19 M. mereka memandan Islam sebagai suatu massa yang semati-matinya menerimapukulan-pukulan destruktif atau pengaru-pengaru yang formatif dari Barat. Dari penggalan sejarah yang dikemukakan, ternyata yang menjadi faktor kemunduran itu adalah perhelatan didalam tubuh umat islam itu sendiri yang membuat melemahnya muwahhadah umat.
Dengan melihat kejadian tersebut, tergugahlah hati Ibnu Taimiyah untuk melakukan perubahan islam pada peralihan abad 13 dan 14 H. Sehingga dengan usahanya Ibnu Taimiyah disebut sebagai bapak tajdid atau reformis Islam. Ia melakukan kritik tajam tidak saja kearah sufisme dan para filosof yang mendewakan rasionalisme. Kritik Ibnu Taimiyah sendiri selalu menuju kearah seruan agar umat islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah serta memahami kembali kedua sumber hukum Islam dengan landasan ijtihad.
Namun jika dianalisa lebih global, penulis tertarik kepada pendapat bahwa modernisme bukanlah merupakan ataupun kekalahan antara dua orientasi kultural: antara Timur dan Barat, atau antara Islam dengan non Islam. Namun yang sesungguhnya adalah antara dua zaman yang berbeda, misalnya abad Agraria dan abad Teknis. Atau keunggulan zaman “sejarah” terhadap zaman “pra-sejarah” dengan dimensi yang jauh lebih besar dan intensitas yang jauh lebih hebat.
Tetapi nampaknya segi kekurangan paling serius daripada abad modern ini ialah dalam hal yang menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang keruhanian dan keagamaan. Hal inilah yang diantisipasi sebelumnya oleh Ibnu Taimiyah dalam menghadapi modernisasi. Maka dengan adanya dari waktu ke waktu usaha pembaharuan, atau penyegaran, atau pemurnian pemahaman umat kepada agamanya adalah sistem yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bagi umat islam sebagai suatu yang telah diisyaratkan oleh Nabi.
Maka dari sudut tinjauan diatas maka wajar saja nantinya pada abad ke 18 Jazirah Arab menyaksiakan usaha pembaharuan yang militan dilancarkan oleh Syekh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1115-1206 H/1703-1792 M), yang melahirkan apa yang dinamakan gerakan Wahabi.
Selanjutnya di belahan bumi lainnya kita menyaksikan beberapa pergerakan lainnya pun dilakukan oleh para kaum modernis dengan melihat alasan yang sama walaupun situasi yang berbeda dan lapangan pergerakan yang berbeda-beda pula sesuai dengan corak masing-masing. Seperti Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, sang reformis Muhammad Rasyid Ridha, sayyid Ahmad Khan, Mustafa Kemal Attaturk dan banyak lagi para pembaharu lainnya yang berjuang untuk perubahan mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang telah jauh lebih maju.

3. Kesimpulan
Modernisme mengandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adap istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan olah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Puritanisme dalam islam mempunyai pengertian usaha untuk mengembalikan umat islam kepada ajaran yang murni berasal dari pembawanya yakni Nabi Muhammad saw. yaitu al-Quran dan hadis agar bersih dari perilaku takhayyul, bid’ah dan khurafat yang dapat merusak ajaran dan aqidah umat islam.
Pengertian antara puritanisme dan modernisme dapat dilihat bahwa kedua istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda. Jika puritanisme mengandung arti memurnikan pemikiran atau ajaran dari segala aspek dari luar yang mencampuri atau mempengaruhi suatu pemikiran atau ajaran tertentu yang dapat menodai kemurnian islam. Sedangkan modernisme mengandung pengertian gerakan membuat suatu perubahan paradigma berpikir dalam umat islam yang lebih aktual. Maka dengan adanya pergerakan modernisasi diharapkan dapat mewujudkan kesesuaian antara kemajuan zaman dan agama. Tujuan keduanya adalah untuk menyesuaikan antara perubahan zaman yang semakin aktual dengan ajaran islam yang murni.
Jika menggunakan analisa lebih global, modernisasi bukanlah merupakan ataupun kekalahan antara dua orientasi kultural: antara Timur dan Barat, atau antara Islam dengan non Islam. Namun yang sesungguhnya adalah perubahan antara dua zaman yang berbeda, misalnya abad Agraria dan abad Teknis, zaman masyarakat pedesaan menuju masyarakat perkotaan, dan bahkan antara zama pra-sejarah kepada zaman sejarah. Jadi substansinya adalah perubahan-perubahan global yang terjadi pada suatu masa yang berangkat dari ketertinggalan menuju perubahan yang lebih maju.
Tetapi nampaknya segi kekurangan paling serius daripada abad modern ini ialah dalam hal yang menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang keruhanian dan keagamaan. Hal inilah yang diantisipasi oleh kaum modernis muslim dalam menghadapi masalah keumatan yang terus diperjuangkan dari masa ke masa. Perhelatan ini tetap akan terjadi dan mengalami benturan antar kultur di belahan bumi manapun hal itu terjadi.


DAFTAR PUSTAKA


Fazlur Rahman. Islam. (New York: Ancho Book) Terjemahan. 1979
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang) 1986
Hasan Sadily DKK. Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru) 1984
John J. Donohue, John I. Esposito. Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-Masalah. (Jakarta : Cinta Niaga Rajawali) Terj. 1993
Pustaka Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Khazanah Intelektual Islam/Editor: Nurkholis Madjid (Jakarta: Bulan Bintang) 1994

Senin, 12 Juli 2010

IBNU BAJJAH TENTANG PERBUATAN MANUSIA, FILOSOF DAN NABI

Perbuatan Manusia dan Etikanya
Setiap perbuatan yang dilakukan tentunya adalah untuk tujuan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di bumi. Namun perbuatan manusi yang didasarkan pada kebutuhan hidup yang bercampur dengan keinginan dan hawa nafsu kadang kala membuat ketidaksesuaian dan kesenjangan dalam komunitas maupun lingkungan. Ketidaksesuaian perilaku itu membuat terklasifikasinya perbuatan manusia dalam pandangan para filosof.
Menurut Mahmud Shaghir dalam Ibnu Bajjah yang dikutip oleh Zaharuddin Zar, perbuatan manusia terbagi menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu perbuatan manusia adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
Zaharuddin Zar mencontohkan, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun jika perbuatan makan tersebut dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan hidup, perbuatan itu jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan bahwa tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan yang bermotifkan rasio atau dengan akal (rasio) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Kalau didorong oleh nafsu hewani berarti perbuatan hewan, tetapi kalau perbuatannya itu didasarkan akal budi, maka hal itu adalah perbuatan manusia.
Perbuatan manusia adakalanya didorong oleh naluri yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Selain itu, manusia memiliki kelebihan dengan adanya naluri insani yang tidak terdapat pada hewan. Dengan ini, manusia dapat melakukan aktivitas berdasarkan pertimbangan akal, bebas dari rangsangan naluri hewani.
Manusia apabila didasarkan pada pemuasan akal (rasio) semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan Ilahy daripada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan jiwa telah dapat menekan keinginan hewani yang selalu menentang akal. Pada dasarnya manusia bebas melakukan perbuatannya sesuai dengan iradah yang diberikan Tuhan. Namun dengan pertimbangan akal dan wahyu menuntun manusia untuk berpijak pada adat-adat kebenaran yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran sesuai menurut pertimbangan akal dan nurani.
Secara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkatan sebagai berikut.(Al-Iraqy: 62)
1. Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
2. Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan ruhaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyah dan aqliyah.
3. Tujua ruhaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.
Keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang manjadi sumber perbuatannya. Perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah. Kalau perbuatan manusia hanya didasarkan atas pikiran demi kebenaran, maka perbutannya itu lebih merupakan perbuatan Ilahi dari perbuatan manusiawi. Sehingga kalau akal sudah memutuskan sesuatu, tidak dapat ditentang oleh jiwa hewani.
Pada dasarnya jiwa hewani itu tunduk pada akal, keculi pada manusia yang menyeleweng dari sifat kemanusiaanya, sehingga kelakuannya menyerupai binatang. Untuk menundukkkan segi hewani pada dirinya guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, ia harus memulai dengan melaksanakan segi-segi kemanusiaannya. Kemurnian akal yang selau diikuti dengan realisasi dalam bentuk perbuatan dan penuh pertimbangan akal membawa manusia jauh dari sifat hewani menuju sifa Ilahy. Namun jika perbuatan yang hanya mengikuti keinginan hawa nafsu maka inilah yang dikatakan perbuatan hewani.
Jika karakteristik utama manusia dan tindakannya yang patut adalah akal budi, maka jelaslah bahwa manusia merupakan salah satu “bentuk intelektual” atau “spiritual” yang merupakan bagian tertinggi dari skala besar wujud. Oleh karena itu Ibnu Bajjah menentukan posisi manusia sepanjang skala “bentuk-bentuk spiritual” dalam hierarki universal dari wujud yang telah dipopulerkan oleh kaum Neo-Platonis Muslim.
Jika nalar manusia yang selaras dengan pertimbangan adalah sensi manusia, bukannya dorongan-dorongan impulsif, manusia sebenarnya adalah makhluk dan berbentuk (form) spiritual yang banyak diperbincangkan oleh kaum noeplatonis dan mistis. Bagi Ibnu Bajjah, ada empat tipe makhluk spiritual, yakni:
1. Bentuk-bentuk dari benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat immaterial. Oleh Ibnu Bajjah, tipe ini disepadankan dengan akal-akal terpisah (sparate intelligences) yang dalam kosmoligi Aristotelian dan islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit itu sendiri;
2. Akal-akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immaterial;
3. Bentuk-bentuk immaterial yang diabstraksikan dari materi;
4. Bentuk-bentuk atau refresentasi-refresentasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa ; sensus communis, imajinasi, dan memori. Seperti bentuk-bentuk material, bentuk-bentuk ini dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional.
Kategori yang pertama bersifat sama sekali immaterial, sementara yang kedua, sekalipun pada hakikatnya immaterial, tetapi mempunyai hubungan tertentu dengan materi. Karena intelek itu merupakan ma’qulat material sesuai dengan kemampuan pencapaiannya, atau menjadikan mereka sesuai dengan kapasitas aktifnya. Yang ketiga mempunyai suatu hubungan tertentu dengan materi, sejauh bentuk-bentuk seperti itu dipisahkan dari substarata materi mereka. Sementara yang keempat berada di tengah-tengah antara bentuk-bentuk material dan spiritual.

Teori Etika
Perbuatan manusia, menurut Ibnu Bajjah, dapat dibagi menjadi perbuatan yang sukarela (voluntary) dan tidak involuntary. Yang disebut belakangan ialah tindakan yang terjadi akibat impuls yang ada pada segenap pada manusia dan binatang, sedangkan yang pertama ialah tindakan yang terjadi akibat pertimbangan akal dan pilihan bebas yang hanya ada pada manusia. “Di negara-negara korup, semua tindakan bersifat involunter dan impulsive; tidak berpijak pada pertimbangan akal sehat, tetapi pada hasrat memenuhi hajat hidup (seperti yang disebutkan Al-Farabi tentang “kota darurat”) atau hasrat memuaskan hawa nafsu (pada “kota tercela”) atau hasrat penaklukan (pada “kota tiran”).
Sifat akali yang berasal dari ruhani yang menggerakkan manusia pada kesusilaan membuat manusia mengenal akhlak. Sifat akali manusia menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempurnaan yang mutlak yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani pada manusia. Antara lain sifat manusia yang dianalogikan seperti sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat malu dan sebagainya.
Ibnu bajjah membagi pertumbuhan-pertumbuhan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhibungan dengannya, baik dekat maupun jauh. Bagian kedua ialah pebuatan yang timbul dari pemikiran yang harus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya : “perbuatan-perbuatan manusia”.
Pangkal perbedaan kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri malainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang yang terantuk (tersandung) batu kemudian luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparkannya karena batu itu telah melukianya, maka ini adalah perbuatan yang hewani yang didorong oleh naluri hewani yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang telah mengganggunya.
Kalau melemparkan batu itu agar tidak mengganggu orang lain bukan karena kepentingan dirinya, maka perbuatan itu adalah pekerjan manusia, dan pekerjaan itu bisa dinilai dalam lapangan akhlak. Karena menurut Ibnu Bajjah hanya perbuatan yang dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, dan itu bisa disebut dengan perbuatan manusia.
Setiap orang yang akan menundukan segi hewani pada dirinya, maka tidak lain ia harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dengan demikian segi hewani pada dirinya dapat ditundukkan kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang bisa menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan itu timbul disebabkan ketundukannya pada naluri.

Filosof dan Nabi
Filosof barat yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran Al-Farabi dan Aristoteles adalah Ibnu Bajjah. Karangan-karangan Ibnu Bajjah dapat menuntun Ibnu Rusyd untuk mengenal Al-Farabi dan Aristotelas.
Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Gazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi corak baru filsafat Islam di barat terutama mengenai teori ma’rifat dalam efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Gazali.
Menurut Al-Gazali, ilham merupakan sumber pengetahuan yang paling penting dan paling dipercaya. Setelah datang Ibnu Bajjah maka ia menolak teori tersebut dan menetapkan bahwa seorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan melebur diri pada akal-faal, jika ia telah dapat terlepaskan dari keburukuan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan fikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya, seperti yang kita dapati pada risalah Tadbir Al-Mutawahhid.
Ibnu Bajjah menentang pikiran Al-Gazali yang menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya. Semua pengetahuan manusia sia-sia belaka sebab itu tidak bisa mengantarkan manusia kepada suatu kebenaran. Namun Ibnu Bajjah mengatakan bahwa masyarakat manusia itulah yang mengalahkan perorangan dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta menghalang-halanginya dari kesempurnaan, melalui keburukan-keburukannya yang membanjir dan keinginan-keinginan yang deras. Jadi seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan setinggi-tingginya melalui pemikiran dan menghasilkan ma’rifat yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran dapat menguasai perbuatan-perbuatan seseorang yang dapat mengabdikan diri untuk memperolehnya.

Kesimpulan
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Manusia, menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan Ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan karena jiwa telah dapat menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang dikehendaki oleh Ibnu Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama.
Adapun tujuan manusia hidup di dunia ini, adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Untuk itu, diperlukan usaha yang bersumber pada kemauan bebas dan pertimbangan Akal dan jauh dari nafsu hewani. Lebih jauh Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia kepada Perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi. Watak sejati manusia pada hakikatnya bersifat Intelektual, yang merupakan karakteristik semua bentuk spiritual. Dan hanya “manusia spiritual” inilah yang benar-benar dapat merasakan kebahagiaan. Ibnu Bajjah menyatakan bahwa kemajuan intelektual bukanlah semata-mata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan oleh Tuhan dengan memasukkan cahaya ke dalam hati.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan-bintang. 1991.
Hasyimsyah Nasiution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.
Madjid Fakhry. Ibnu Bajjah, Opera Metaphysica. Terjemahan. Beirut 1968.
Muslim Ishaq. Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
Sudarsono. Filsafat islam. Jakarta: Rineka Jaya. 2004.
Zaharuddin Zar. Filsafat Islam. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2004. hlm.

Segala kritik dan saran serta masukan yang bermafaat sangat dibutuhkan dalam tulisan ini dalam menambah khazanah pendidikan penulis.

* Penulis adalah Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang.