IBNU BAJJAH TENTANG PERBUATAN MANUSIA, FILOSOF DAN NABI


Perbuatan Manusia dan Etikanya
Setiap perbuatan yang dilakukan tentunya adalah untuk tujuan hidup dan kehidupan setiap makhluk hidup di bumi. Namun perbuatan manusi yang didasarkan pada kebutuhan hidup yang bercampur dengan keinginan dan hawa nafsu kadang kala membuat ketidaksesuaian dan kesenjangan dalam komunitas maupun lingkungan. Ketidaksesuaian perilaku itu membuat terklasifikasinya perbuatan manusia dalam pandangan para filosof.
Menurut Mahmud Shaghir dalam Ibnu Bajjah yang dikutip oleh Zaharuddin Zar, perbuatan manusia terbagi menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu perbuatan manusia adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
Zaharuddin Zar mencontohkan, perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun jika perbuatan makan tersebut dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan hidup, perbuatan itu jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan bahwa tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan yang bermotifkan rasio atau dengan akal (rasio) maka dinamakan perbuatan manusiawi. Kalau didorong oleh nafsu hewani berarti perbuatan hewan, tetapi kalau perbuatannya itu didasarkan akal budi, maka hal itu adalah perbuatan manusia.
Perbuatan manusia adakalanya didorong oleh naluri yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Selain itu, manusia memiliki kelebihan dengan adanya naluri insani yang tidak terdapat pada hewan. Dengan ini, manusia dapat melakukan aktivitas berdasarkan pertimbangan akal, bebas dari rangsangan naluri hewani.
Manusia apabila didasarkan pada pemuasan akal (rasio) semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan Ilahy daripada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan jiwa telah dapat menekan keinginan hewani yang selalu menentang akal. Pada dasarnya manusia bebas melakukan perbuatannya sesuai dengan iradah yang diberikan Tuhan. Namun dengan pertimbangan akal dan wahyu menuntun manusia untuk berpijak pada adat-adat kebenaran yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran sesuai menurut pertimbangan akal dan nurani.
Secara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkatan sebagai berikut.(Al-Iraqy: 62)
1. Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
2. Tujuan rohaniah khusus, dilakukan atas dasar kepuasan ruhaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyah dan aqliyah.
3. Tujua ruhaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.
Keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang manjadi sumber perbuatannya. Perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah. Kalau perbuatan manusia hanya didasarkan atas pikiran demi kebenaran, maka perbutannya itu lebih merupakan perbuatan Ilahi dari perbuatan manusiawi. Sehingga kalau akal sudah memutuskan sesuatu, tidak dapat ditentang oleh jiwa hewani.
Pada dasarnya jiwa hewani itu tunduk pada akal, keculi pada manusia yang menyeleweng dari sifat kemanusiaanya, sehingga kelakuannya menyerupai binatang. Untuk menundukkkan segi hewani pada dirinya guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, ia harus memulai dengan melaksanakan segi-segi kemanusiaannya. Kemurnian akal yang selau diikuti dengan realisasi dalam bentuk perbuatan dan penuh pertimbangan akal membawa manusia jauh dari sifat hewani menuju sifa Ilahy. Namun jika perbuatan yang hanya mengikuti keinginan hawa nafsu maka inilah yang dikatakan perbuatan hewani.
Jika karakteristik utama manusia dan tindakannya yang patut adalah akal budi, maka jelaslah bahwa manusia merupakan salah satu “bentuk intelektual” atau “spiritual” yang merupakan bagian tertinggi dari skala besar wujud. Oleh karena itu Ibnu Bajjah menentukan posisi manusia sepanjang skala “bentuk-bentuk spiritual” dalam hierarki universal dari wujud yang telah dipopulerkan oleh kaum Neo-Platonis Muslim.
Jika nalar manusia yang selaras dengan pertimbangan adalah sensi manusia, bukannya dorongan-dorongan impulsif, manusia sebenarnya adalah makhluk dan berbentuk (form) spiritual yang banyak diperbincangkan oleh kaum noeplatonis dan mistis. Bagi Ibnu Bajjah, ada empat tipe makhluk spiritual, yakni:
1. Bentuk-bentuk dari benda langit (forms of the heavenly bodies) yang sama sekali bersifat immaterial. Oleh Ibnu Bajjah, tipe ini disepadankan dengan akal-akal terpisah (sparate intelligences) yang dalam kosmoligi Aristotelian dan islam diyakini sebagai penggerak benda-benda langit itu sendiri;
2. Akal-akal capaian (mustafad) atau akal aktif yang juga bersifat immaterial;
3. Bentuk-bentuk immaterial yang diabstraksikan dari materi;
4. Bentuk-bentuk atau refresentasi-refresentasi yang tersimpan dalam tiga daya jiwa ; sensus communis, imajinasi, dan memori. Seperti bentuk-bentuk material, bentuk-bentuk ini dinaikkan ke tingkat spiritual melalui fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah pemikiran rasional.
Kategori yang pertama bersifat sama sekali immaterial, sementara yang kedua, sekalipun pada hakikatnya immaterial, tetapi mempunyai hubungan tertentu dengan materi. Karena intelek itu merupakan ma’qulat material sesuai dengan kemampuan pencapaiannya, atau menjadikan mereka sesuai dengan kapasitas aktifnya. Yang ketiga mempunyai suatu hubungan tertentu dengan materi, sejauh bentuk-bentuk seperti itu dipisahkan dari substarata materi mereka. Sementara yang keempat berada di tengah-tengah antara bentuk-bentuk material dan spiritual.

Teori Etika
Perbuatan manusia, menurut Ibnu Bajjah, dapat dibagi menjadi perbuatan yang sukarela (voluntary) dan tidak involuntary. Yang disebut belakangan ialah tindakan yang terjadi akibat impuls yang ada pada segenap pada manusia dan binatang, sedangkan yang pertama ialah tindakan yang terjadi akibat pertimbangan akal dan pilihan bebas yang hanya ada pada manusia. “Di negara-negara korup, semua tindakan bersifat involunter dan impulsive; tidak berpijak pada pertimbangan akal sehat, tetapi pada hasrat memenuhi hajat hidup (seperti yang disebutkan Al-Farabi tentang “kota darurat”) atau hasrat memuaskan hawa nafsu (pada “kota tercela”) atau hasrat penaklukan (pada “kota tiran”).
Sifat akali yang berasal dari ruhani yang menggerakkan manusia pada kesusilaan membuat manusia mengenal akhlak. Sifat akali manusia menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempurnaan yang mutlak yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani pada manusia. Antara lain sifat manusia yang dianalogikan seperti sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat malu dan sebagainya.
Ibnu bajjah membagi pertumbuhan-pertumbuhan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhibungan dengannya, baik dekat maupun jauh. Bagian kedua ialah pebuatan yang timbul dari pemikiran yang harus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya : “perbuatan-perbuatan manusia”.
Pangkal perbedaan kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri malainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang yang terantuk (tersandung) batu kemudian luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparkannya karena batu itu telah melukianya, maka ini adalah perbuatan yang hewani yang didorong oleh naluri hewani yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang telah mengganggunya.
Kalau melemparkan batu itu agar tidak mengganggu orang lain bukan karena kepentingan dirinya, maka perbuatan itu adalah pekerjan manusia, dan pekerjaan itu bisa dinilai dalam lapangan akhlak. Karena menurut Ibnu Bajjah hanya perbuatan yang dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, dan itu bisa disebut dengan perbuatan manusia.
Setiap orang yang akan menundukan segi hewani pada dirinya, maka tidak lain ia harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dengan demikian segi hewani pada dirinya dapat ditundukkan kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang bisa menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena kekurangan itu timbul disebabkan ketundukannya pada naluri.

Filosof dan Nabi
Filosof barat yang pertama kali mempelajari secara mendalam pemikiran Al-Farabi dan Aristoteles adalah Ibnu Bajjah. Karangan-karangan Ibnu Bajjah dapat menuntun Ibnu Rusyd untuk mengenal Al-Farabi dan Aristotelas.
Ibnu Bajjah menentang pandangan Al-Gazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat Aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil memberi corak baru filsafat Islam di barat terutama mengenai teori ma’rifat dalam efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sama sekali dengan Al-Gazali.
Menurut Al-Gazali, ilham merupakan sumber pengetahuan yang paling penting dan paling dipercaya. Setelah datang Ibnu Bajjah maka ia menolak teori tersebut dan menetapkan bahwa seorang dapat mencapai puncak ma’rifat dan melebur diri pada akal-faal, jika ia telah dapat terlepaskan dari keburukuan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan fikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya, seperti yang kita dapati pada risalah Tadbir Al-Mutawahhid.
Ibnu Bajjah menentang pikiran Al-Gazali yang menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya. Semua pengetahuan manusia sia-sia belaka sebab itu tidak bisa mengantarkan manusia kepada suatu kebenaran. Namun Ibnu Bajjah mengatakan bahwa masyarakat manusia itulah yang mengalahkan perorangan dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta menghalang-halanginya dari kesempurnaan, melalui keburukan-keburukannya yang membanjir dan keinginan-keinginan yang deras. Jadi seseorang dapat mencapai tingkat kemuliaan setinggi-tingginya melalui pemikiran dan menghasilkan ma’rifat yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran dapat menguasai perbuatan-perbuatan seseorang yang dapat mengabdikan diri untuk memperolehnya.

Kesimpulan
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Manusia, menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatannya dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan Ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Hal ini merupakan keutamaan karena jiwa telah dapat menekan keinginan jiwa hewani yang selalu menentangnya. Perbuatan seperti itulah yang dikehendaki oleh Ibnu Bajjah bagi warga masyarakat yang hidup dalam negara utama.
Adapun tujuan manusia hidup di dunia ini, adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Untuk itu, diperlukan usaha yang bersumber pada kemauan bebas dan pertimbangan Akal dan jauh dari nafsu hewani. Lebih jauh Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia kepada Perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi. Watak sejati manusia pada hakikatnya bersifat Intelektual, yang merupakan karakteristik semua bentuk spiritual. Dan hanya “manusia spiritual” inilah yang benar-benar dapat merasakan kebahagiaan. Ibnu Bajjah menyatakan bahwa kemajuan intelektual bukanlah semata-mata atas usaha manusia, tetapi disempurnakan oleh Tuhan dengan memasukkan cahaya ke dalam hati.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan-bintang. 1991.
Hasyimsyah Nasiution. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.
Madjid Fakhry. Ibnu Bajjah, Opera Metaphysica. Terjemahan. Beirut 1968.
Muslim Ishaq. Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
Sudarsono. Filsafat islam. Jakarta: Rineka Jaya. 2004.
Zaharuddin Zar. Filsafat Islam. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 2004. hlm.

Segala kritik dan saran serta masukan yang bermafaat sangat dibutuhkan dalam tulisan ini dalam menambah khazanah pendidikan penulis.

* Penulis adalah Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang.